Komunitas La Sape di Kongo, Tampil Trendy dan Unik di Tengah Kemiskinan Sejak 1976

Pada 1976, Jean Marc Zeita merantau ke Paris dan berpakaian mengikuti gaya Eropa.

Saat kembali ke kampung halamannya, Jean tetap berpakaian seperti itu agar terlihat “berhasil” oleh orang-orang di sana.

Tidak sendirian, Jean membuat komunitas pemuda Kongo di Paris yang juga berpakaian elegan.

Selain itu, majalah fashion juga dibawa olehnya sebagai referensi bagi masyarakat sekitar.

Papa Wemba, penyanyi asal Republik Demokratik Kongo ini juga turut andil dalam mempromosikan budaya La Sape.

Republik Kongo dan Republik Demokratik Kongo merupakan dua negara yang hanya dibatasi oleh sungai. Menurutnya, pria di Kongo wajib mengenakan pakaian berkelas sepertinya.

Komunitas ini memiliki prinsip bernama Sapologie, yang mengajarkan para Sapeur (anggota komunitas) tidak melakukan kekerasan dan ketidakadilan.

Di sisi lain, Sapeur juga harus tetap Bahagia meskipun tidak makan. Salah satu alasan berpakaian trendy seperti ini untuk menumbuhkan rasa percaya diri.

Selain itu, dengan menjadi anggota La Sape juga bisa membawa kebahagiaan bagi masyarakat sekitar di tengah kemiskinan.

Maxime Pivot yang sempat mendapat gelar Sapeur terbaik selalu membuat bahagia warga sekitar.

Kehadirannya di pasar disambut meriah oleh para pedagang yang membuatnya menjadi lebih percaya diri.

Menurut Hip Africa, saat anggota La Sape mengekspresikan dirinya melalui pakaian trendy, pujian yang didapatkannya akan kembali lagi kepada Tuhan.

Artistik tidak hanya diekspresikan di atas kanvas tetapi juga melalui colour and style palate.

Admin