Kritik Sastra Feminis: Perempuan, Kekerasan, dan Rahasia Triyanto Triwikromo Di Balik Mati Setelah Mati

HARIANE SEMARANG – Kritik sastra feminis adalah jalan sunyi para sastrawan yang jenuh dengan maskulinitas dan cara pandang patriarki dalam meramu sebuah karya fiksi, baik lokal maupun di dunia.

Cara pandang tersebut memunculkan stigma, yang seringkali melekat pada perempuan dan kekalahan, sementara kemenangan hanya untuk kaum laki-laki. Stigma ini memunculkan gelombang besar penolakan secara ideologis, baik dari kaum perempuan maupun laki-laki yang mulai sadar akan pergerakan.

Tak jarang, fenomena kekerasan dan mitos negatif tentang perempuan dan gender yang tertindas selalu saja menghidupkan kisah-kisah perjuangan yang epik.

Contohnya adalah lahirnya sastra wangi pada era setelah reformasi. Beranjak dari Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu, kisah-kisah itu terus disampaikan dengan cara yang realistis, atau bahkan dengan sangat erotis, hiperbolis dan banyak lagi.

Karya-karya yang bersifat feminis tidak hanya milik para penulis perempuan, tetapi banyak juga para penulis lelaki yang menceritakan tentang perempuan dan perjuangannya melawan sistem.

Seperti Pramoedya Ananta Toer dengan Nyai Ontosorohnya, atau Eka Kurniawan dengan Iteung dan kisahnya dengan Margio. Itu adalah contoh khazanah kepenulisan tentang perempuan yang terus mekar dan berbunga wangi.

Tetapi, ada yang luput dari pandangan banyak orang.  Jarang sekali para penulis membuat karya sastra berunsur feminis dengan pendekatan Realisme Magis sebebagai media penyampaian perlawanan perempuan.

Gaya kepenulisan yang mengaburkan bayangan tentang kehidupan nyata dan menghidupkan mimpi-mimpi alam bawah sadar.

Rizky Riawan