Kritik Sastra Feminis: Perempuan, Kekerasan, dan Rahasia Triyanto Triwikromo Di Balik Mati Setelah Mati

Percampuran antara unsur realis dan magis menjadi katarsis baru bagi para pembaca modern.

Kritik Sastra Feminis dalam Karya Triyanto Triwikromo

Realisme Magis itu pun dihadirkan Triyanto Triwikromo dalam cerpennya Mati Setelah Mati yang terbit Agustus 2019 di koran Kompas. Mengenal Triyanto Triwikromo kita juga mengenal cara tradisionalnya dalam meramu novel atau karya lainnya yang penuh lokalitas.

Kali ini, ia menghadirkan nuansa perjuangan perempuan dalam balutan Realisme Magis layaknya milik Gabriel Garcia Maquez.

Bagaimana Nyai Dini diceritakan dapat hidup berkali-kali dan mati berkali-kali pula, Triyanto Triwikromo sangat pandai menyisipkan nilai moral tentang penindasan kaum perempuan dari tahun ke tahun.

Tokoh “Aku” dalam cerpennya ini menjadi narator tentang perjuangan perempuan di Indonesia yang mati-matian melawan stigma dan isu rasial dari tahun ke tahun.

Mulai dari Peristiwa 65, Petrus di awal 80-an hingga peristiwa 98 yang banyak merenggut nyawa masyarakat Tionghoa yang dianggap wabah awal mula kemiskinan dan krisis yang merajalela.

“Banyak orang, terutama warga Sekayu, yakin Nyai Dini telah mati berkali-kali. Kali pertama istri kiai Nuh ini mati pada Oktober 1965 saat dia baru berumur enam tahun. Kali kedua dia mati pada 1983 ketika penembakan misterius merajalela dan kali ketiga pada 1998 bertepatan dengan orang-orang di Jakarta menemukan banyak mayat perempuan cantik di gedung-gedung yang terbakar,” kutipan dari cerpen Mati Setelah Mati.

Di akhir cerpennya, bahkan seorang Triyanto Triwikromo menyisipkan pesan moral yang sangat tendensius terhadap kaum tertindas, khususnya perempuan.

Rizky Riawan